Jumat, 07 Oktober 2011

Berikut adalah beberapa supporter garis kelas di tanah pencetus sepak bola modern

Ini dokumentasi twit series yang dilakukan @regisethisgoals dengan topik sejarah suporter garis keras (ultras) (di Italia).
Berikut adalah beberapa supporter garis kelas di tanah pencetus sepak bola modern yaitu Inggris
1.Aston Villa Hardcore lahir di kota Birmingham dgn mendukug klub Aston Villa mereka terkenal supporter plg loyal pd klub dan negara mereka
mereka di segani di benua eropa supporter garis keras yg sangat teroganisir dari segi organisasi hingga pertempuran jalanan
beberapa pentolannya sudah di blacklist untuk dilarang masuk ke semua stadion hampir di seluruh britania raya
2.Inter City Firm. Udah nonton Green Street Hooligan?.Supporter fanatik dari klub London, West Ham United.
Dinamakan Inter City sesuai dengan nama kereta yang mereka pakai untuk menyaksikan pertandingan away
mereka sudah aktif dari tahun 1970-an, tidak rasis dan ekstrimis ke kananan, tapi sama berbahayanya dgn para hooligan yg lain
mereka punya kebiasaan eninggalkan kartu di lawan yg mereka serang dg isi tulisan “Congratulations, you’ve just met the ICF.”
3. Chelsea Headhunters merupakan klub Hooligan rasis yang juga kadang di kaitkan dengan Front Nasional dan Paramiliter Combat 18.
lahir di kota London dan berafiliasi dengan Chelsea, meraka menjungjung tinggi supremasi kulit putih dan sangat ke kananan
4. The Red Army ,supporter garis keras dari kota Manchester yg mendukung Man Utd hooligan plg berbahaya di Inggris dgn kriminal plg tinggi
ke Tanah Italia ada ultras sayap kanan yg rasis dan juga ekstrimis sayap kanan
1.Boys San atau Viking from Milano supporter dari kota Milan yg mendukung Internazionale Milan bersayap kanan dan juga rasis
Kelompok tertua di Curva Nord 69. Berdiri pada 1969, plgl oyal tdk pernah berhenti bernyanyi dan merupakan hooligan yg sangat teroganisir
mereka meninggalkan sifat buruk mereka dan leibh fokus untuk mendukung tim kesayangn mereka Inter Milan dgn bernyanyi sampai pluit berakhir
2. Viking masih di kota Milan dan berdiam di curva nord ( tribun utara) terbentuk pada tahun 1984
dikenal sebagai salah satu pendukung beraliran sayap kanan paling loyal di Italia, tp juga rasis & mempunyai kendali di pemerintahan italia
3. Forever Ultras masih di kota milan dan berada di curva nord yg juga pendukung fanatik Inter tertua kedua setelah Boys San
nb: jika kalian berlibur di kota Milan jgn pernah memakai jersey AC Milan dihadapan mereka, “you better die”
4 Irridubicili masih pendukung fanatik inter milan,kelompok paling kontroversial di antara Ultras Inter lainnya.
dikenal dengan nama “Skins”kelompok ini langsung membuat kericuhan dengan menyerang setiap pendukung lawan yang datang ke Giuseppe Meazza.
“Non basta essere Bravi bisogna essere I migliori” (untuk menjadi yang terbaik, tidak cukup dengan bersikap baik) adalah slogan mereka
makasih hehe RT @hedi @regisethisgoals tambahan mas, suporter paling ditakutin di Inggris: Milwall. Dari sini cikal bakal garis
—-
karena ada yg nanya apa itu Ultras kita balik lagi ke sejarah
Kelompok Ultras yang pertama lahir adalah dari Fossa dei Leoni (FDL) salah pendukung klub asal kota Milan yaitu AC Milan pada tahun 1968
Setahun berselang rival sekota mrk Inter Milan membuat tandingannya yg bernama Inter Club Fossati tp kemudian berganti nama menjadi Boys San
Boys San sendiri lahir karena pelatih Inter saat itu Helenio Herrera ingin mempunyai kelompok suporter yg teroganisasi dgn baik
Fenomena ultras awalnya hadir dari protes para demonstran di italia yg tidak puas dgn sitasi politik di negaranya di akhir tahun 60-an
Setiap #ultras memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, walaupun mereka mendukung klub dari kota yang sama.
#ultras di Italia mempunyai andil besar dalam melestarikan paham2 seperti komuisme, sosialisme, dan fasisme
peran para #ultras dalam perubahan sebuah klub di Italia lebih besar perannya dibanding para hooligan di tanah Inggris
Maka dari itu ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan pilihan ideologi daripada perbedaan klub kesayangan, yg jauh dr sepak bola
Uniknya dalam setiap pertempuran #ultras di italia mempunyai kode etik dalam berperang agar lebih “berbudaya” yg disebut Ultras codex
RT @hedi @regisethisgoals paham kiri condong di Italia selatan dan ultra-kanan di Italia utara #ultras
Misalnya ketika ultra Juve bertempur dgn ultra inter dan dimenangkan oleh Ultra Juve maka Ultra juve berhak membawa plg bendera ultra inter
RT @casiraghii @hedi  @regisethisgoals  mayoritas ultras masih bawa fasisme smp skrg. Yel2 nya sngt berbau fasis.
ada cerita menarik tentang kasus bendera ini saat FDL mempunyai bendera dari Viking Juve bukan dari open fight melaikan nemu di jalanan
Viking Juve yg tdk terima mencegat FDL di Eindhoven setelah partai liga Champions PSV - Milan dgn senjata tajam & berhasil merebut bdra FdL
FdL lapor polisi, padahal dalam kode etik ultras italia, polisi adalah hal yang di haramkan
RT @hedi @casiraghii @regisethisgoals pasti, Italia kandangnya fasis. tanpa sepakbola pun orangnya udah rasis. Camoranesi tuh yg bilang :))
@casiraghii @hedi @regisethisgoals salam fasis 1 tangan Totti ala Mussolini pd tifosi itu jelas bkn suatu ketidaksengajaan. Dr kecil didikannya spt itu.
RT @casiraghii @hedi  @regisethisgoals  betul. Cagliari atau Napoli jelas sosialis/komunis. Mayoritas pddk nya jg peladang/petani.
gara2 tragedi itulah FDL bubar lalu terbentuklah grup baru yaitu Guerrieri Ultras dan Brigate Rossonere
suatu #ultras akan bertempat di suatu tribun yg sama di stadion di Italia,dan dipimpin oleh seseorang yang disebut CapoTifoso
seorang capotifoso mempunyai kekuatan untuk memerintah melakukan apapun yg dia perintahkan dan akan dilakukan oleh para anggotanya
Bagi ultras, polisi adalah hal yang diharamkan alias A.C.A.B yg berarti All Cops Are Bastards
Tapi bukan hanya polisi saja korban mereka dari pelatih, pemain hingga jajaran manajemen pernah jadi korban kdigdayaan mereka
Beberapa #Ultras di Italia memaksa klub menyediakan tiket gratis untuk mereka, travel away, dan juga hak atas hasil penjualan merchandise
Christia Vieri mobilnya dan restorannya(klo ga salah) pernah dirusak oleh #ultras karena di anggap tidak loyal lagi pada Inter Milan
apa hubungannya sepak bola sama palu dan arit???
seperti kata mas @hedi dan @casiraghii tanpa ada sepak bola pun negara Italia memang kandangnya fasis
Yell yell dan koreografi yg kalian dengar atau kalian sering saksikan di stadion dan televisi itu adalah hasil dari para #ultras Italia
Fasisme merambah hingga sepak bola yg menular pd #ultras - ultras di italia mungkin efek Mussolini
Konon katanya Hitler ga mau ngancurin stadion yg ada di Inggris waktu tentara Nazi nyerang takut sepak bola hancur

sumber : twitbola.dagdigdug.com

mengenang: Bebaskan Nova Zaenal

foto liga indonesia
SOLO, 16/2 - SOLIDARITAS SUPORTER. Suporter Persis Solo membentangkan spanduk bertuliskan "Bebaskan Nova" saat pertandingan lanjutan Divisi Utama Liga Indonesia antara Persis Solo melawan Persibo Bojonegoro di Stadion Sriwedari, Solo, Senin (16/2). Poster tersebut merupakan bentuk solidaritas serta dukungan moril kepada Nova yang sedang di tahan pihak kepolisian akibat kasus kerusuhan antar pemain. FOTO ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/ed/ama/09

Selasa, 04 Oktober 2011

Lazio Persembahkan Gelar Buat Gabriele Sandri



Lazio sukses merengkuh gelar Coppa Italia usai menekuk Sampdoria di final. Dan duo punggawa Biancocelesti mengaku mempersembahkan gelar ini buat mendiang sahabat yang juga tifosi Lazio Gabriele Sandri.

Lazio memenangkan gelar kasta kedua ini usai menang dalam drama adu penalti setelah sebelumnya bermain imbang 1-1, malam tadi. Biancocelesti akhirnya menang agregat 6-5 setelah Ousmane Dabo mencetak gol penentu.

Menariknya, laga itu digelar di markas Lazio, Stadion Olimpico, Roma. Di stadion inilah nama Sandri dipuja bak pahlawan. Adalah Cristian Brocchi dan Lorenzo De Silvestri yang dengan lantang mempersembahkan gelar ini buat sahabat mereka yang tewas pada 2007 silam.

Bagi kedua pilar Lazio ini, sosok Sandri memang sangat spesial. Selain dikenal sebagai fan paling fanatik Lazio, Sandri juga menjadi sahabat dekat bagi Brocchi maupun De Silvestri.

“Bagi saya, gelar ini akan saya dedikasikan buat dua nama yang pertama untuk Gabriele Sandri karena ini juga menjadi kemenangannya," ujar Brocchi kepada Rai, Kamis, 14 Mei 2009.

“Yang kedua, gelar ini saya persembahkan buat Presiden Claudio Lotito yang telah telah melakukan segalanya untuk memenangkan tropi ini," tambahnya.

Sandri memang sangat spesial di hati De Silvestri. Selain selalu memberikan dukungna di lapangan, Sandri juga menjadi sahabat kental De Silvestri. Bahkan di sebuah pesta ulang tahun De Silvestri, Sandri lah yang menjadi DJ (disk jokey) di acara itu.

“Kami mempunyai kesempatan unik memenangkan gelar ini di hadapan fans kami dan ini akan menjadi malam terindah yang tak akan terlupakan".

“Saya hanya mendedikasikan kemenangan ini buat Gabriele seperti keyakinan saya bahwa dia telah memberikan sebuah bantuan selama tendangan penalti," tambah De Silvestri.

Gabriele Sandri sendiri tewas pada 11 November 2007 silam setelah peluru polisi menerjangnya saat kerusuhan terjadi antara pendukung Lazio dan Milan. Paling tidak gelar ke-12 di Coppa Italia buat Lazio ini dapat menjadi obat luka atas perginya seorang tifosi legendaris Biancolesti.

Senin, 03 Oktober 2011

Ketika hooligans berhasil menghentikan sebuah laga.


Grup C babak kualifikasi Piala Eropa menempatkan dua kontestan Piala Dunia Afrika Selatan Italia dan Serbia sebagai favorit kuat menjadi yang terbaik. Selasa (12/10) di stadion Luigi Ferraris mempertemukan dua negara tersebut. Namun laga yang diprediksi bakal berlangsung seru harus terhenti karena supporter Serbia melakukan kerusuhan.
Semua berawal dari luar stadion. Sore hari menjelang laga, bus tim Serbia yang berangkat dari hotel menuju Luigi Ferraris dihadang ratusan hooligans. Bus yang membawa seluruh pemain dilempari dengan benda-benda berbahaya. Penjaga gawang Serbia yang berhasil memblok tendangan Lukas Podolski pada babak penyisihan grup di Piala Dunia Afrika Selatan lalu harus menerima perawatan setelah mengalami lemparan.
Setiba di stadion, Vladimir Stojkovic yang sangat ketakutan langsung masuk ke ruang ganti pemain Italia dengan gemetaran. Rupanya, Stoikovic  memang diincar hooligans Beli Orlovi. Selepas Piala Dunia, eks penjaga gawang Sporting Lisbon tersebut pindah ke Partizan Belgrade. Bahkan penjaga gawang berusia 27 tahun tersebut mendapat kehormatan dengan diangkat sebagai anggota kehormatan Partizan Belgrade. Keputusan tersebut memicu kemarahan fans Red Star, karena sebelum berkiprah di Portugal, Stojkovic merupakan idola Red Star klub seteru abadi Partizan Belgrade. Ancaman pembunuhan pun diterima sang penjaga gawang.
Sementara di dalam stadion kandang Genoa dan Sampdoria, di curva nord, sekitar 1600 pendukung Serbia telah berbuat onar. Mereka memecahkan fiberglass yang memisahkan tribun penonton dengan lapangan serta merobek jaring pengaman yang menjadi pembatas. Mercon dan kembang api juga dilempar ke tengah lapangan. Pihak keamanan pun berusaha keras mengendalikan situasi.
Setelah sekitar setengah jam, kick off pertandingan pun akhirnya ditiup wasit asal Skotlandia Craig Thompson. Namun aksi anarkis tetap merajalela  meski Stoijkovic tak tampak di lapangan maupun bench pemain Serbia. Gianluca Zambrotta, serta kiper Italia, Emiliano Viviano yang berada pada posisi paling dekat dengan supporter tim tamu nyaris mendapatkan lemparan bom asap dari suporter Serbia.
Cukup enam menit bagi Craig Thompson untuk menghentikan laga. Padahal seluruh personil Serbia telah berusaha menenangkan para supporter Serbia. Pertandingan pun resmi dihentikan. Sementara pihak keamanan masih berusaha meredam amuk supporter Serbia, Dejan Stankovic yang notabene malang melintang di Serie A selaku kapten Serbia mendatangi kamar ganti Italia sambil menangis meminta maaf atas kejadian tersebut.
Di dalam stadion, masalah menjadi pelik. Supporter Gli Azzurri yang juga terkenal brutal mulai melempari dan berusaha menyerang supporter tim tamu. Pihak keamanan pun memutuskan menunggu seluruh supporter tuan rumah keluar dari stadion, baru memperbolehkan supporter tim tamu keluar.
Namun di luar stadion, tawuran tak terhindarkan. Pihak kemananan setempat harus bekerja keras mengawal supporter tim tamu dari kejaran supporter tuan rumah. Dari keributan yang mencoreng persebakbolaan Eropa ini, kantor berita Italia Ansa melaporkan bahwa setidaknya 17 orang berkewarganegaraan Serbia telah ditangkap. Bentrokan yang terjadi di Genoa, Italia utara itu melukai sedikitnya 16 orang termasuk di antaranya dua petugas polisi.
Yang menjadi pertanyaan, apakah semua aksi anarkis tersebut murni dampak dari kebencian terhadap Vladimir Stojkovic?
Ternyata tidak. Di dalam stadion tampak supporter tim Serbia membakar bendera Albania. Saat ini Serbia sedang berkonfrontasi dengan Kosovo. Negara yang berusaha merdeka dari Serbia tersebut mayoritas berpenduduk dari imigran asal Albania. Menteri luar negeri Amerika Serikat Hillary Clinton dan suaminya mantan presiden Bill Clinton sedang berada di Serbia guna mendesak Serbia agar membiarkan Kosovo merdeka.
Ditambah pemecatan pelatih Radomir Antic bulan lalu, kerusuhan di Genoa seperti sudah direncanakan. Keputusan Asosiasi Sepakbola Serbia (FSS) di bawah kendali Presiden Tomislav Karadzic menunjuk Vladimir Petrovic menggantikan Antic membuat fans Serbia marah. Apalagi Jumat lalu, di kandang sendiri Serbia tumbang dari tangan Estonia 1-3. Antic meski gagal membawa Serbia berkiprah jauh di Afrika Selatan tetap dianggap pahlawan bagi supporter Serbia karena sukses mengantarkan ke Piala Dunia.
Kejadian ini membuat semua pihak miris. Menteri luar negeri Serbia pun meminta maaf atas kepada pihak Italia. Menteri Luar Negeri Italia, Franco Frattini mengatakan bahwa pihaknya sudah menerima permintaan maaf langsung melalui telepon dari Menteri Luar Negeri Serbia.
"Saya sudah menerima telepon dari Menteri Luar Negeri Serbia, Vuk Jeremic, yang menuturkan permintaan maaf resmi dari pemerintahan Serbia," tutur Franco Frattini. Jeremic berjanji ia akan mengintensifkan pencarian siapa dalang di balik aksi ini dan akan mengirimkannya ke penjara sebagai contoh agar tidak ada supporter yang mengulang hal tersebut," tambah Frattini.
Bagaimana dengan pihak otoritas sepakbola Eropa, UEFA?
Presiden UEFA, Michel Platini sangat terkejut dengan kejadian memalukan ini.
"Saat saya kembali dari Amsterdam, saya melihat rekaman kerusuhan sebelum laga Italia-Serbia. Melihat itu, saya sangat terkejut," sebut Platini kepada L’Equipe.
"Saya memiliki banyak kenangan buruk kekerasan dalam sepak bola. Tapi saya masih menunggu hasil keputusan dari Komisi disiplin," imbuh Platini.
Keputusan laga Italia kontra Serbia juga masih menunggu hasil investigasi Komisi Disiplin UEFA meski media-media di Italia meyakini Italia bakal memperoleh kemenangan 3-0. Setelah berkas investigasi dinyatakan lengkap dan selesai, ditambah dengan laporan wasit dan delegasi UEFA, masalah ini akan dibawa ke Badan Independen Pengendali dan Disiplin UEFA untuk dipelajari lebih lanjut serta kemungkinan adanya sanksi.
"Rencananya pertemuan badan Pengendali dan Disiplin UEFA melakukan sidang tentang kasus ini pada hari Kamis 28 Oktober," demikian pernyataan resmi UEFA.
Ada pun sanksi yang kemungkinan dijatuhkan mulai dari denda, penutupan stadion, atau diskualifikasi dari kompetisi yang tengah berjalan dan/atau dikucilkan dari kompetisi selanjutnya. Sanksi ini terdapat dalam Peraturan Disiplin UEFA edisi 2008 artikel 14.
Kerusuhan di Genoa Selasa lalu harus menjadi instropeksi bagi semua pihak. Tak cuma Serbia, pihak keamanan Italia harus tegas seperti halnya Inggris. Pemeriksaan yang ketat dari bandara hingga di luar stadion sebelum pertandingan membuat stadion-stadion di Inggris yang tanpa pembatas antara penonton dengan lapangan tetap aman terkendali. Inggris telah belajar banyak dari tragedy Heysel. Italia harus berbenah, juga Eropa.

Tentang Ultras



" Ultras bukanlah sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa melainkan kelompok suporter fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara sungguh-sungguh dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam sisi emosionalnya pada klub yang mereka dukung. "

Ultras mempelopori suporter yang amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung 'teatrikal' yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model tersebut sekarang telah begitu mendominasi di Prancis, dan bisa dibilang telah memberi pengaruh pada suporter Denmark 'Roligans', beberapa kelompok suporter tim nasional Belanda dan bahkan suporter Skotlandia 'Tartan Army'.

Model tersebut masyhur karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera, spanduk & panji raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta koor lagu dan nyanyian hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang menggunakan megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.

Dalam tradisi calcio, ultras adalah "baron" dalam stadion. Mereka menempati dan menguasai salah satu sisi tribun stadion, biasanya di belakang gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva. Ultras tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord (utara) atau sud (selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian. Utras dari klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling berseberangan. Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi tidak diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.

Kelompok Ultras yang pertama lahir adalah (Alm.) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter klub AC Milan, pada tahun 1968. Setahun kemudian pendukung klub sekota sekaligus rival, Internazionale Milan, membuat tandingan yaitu Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d'Azione Nerazzurra). Fenomena ultras sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan tahun 1980-an.

Fenomena ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Alhasil, sejatinya ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil "melestarikan" paham-paham tua seperti facism, dan komunism socialism.

Mayoritas ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan pilihan ideologis dari pada perbedaan klub kesayangan. Untungnya, dalam tradisi Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya Ultras codex. Salah satu fungsi kode etik itu "mengatur" pertempuran antar ultras tersebut bisa berlangsung lebih fair dan "berbudaya". Salah satu etika itu adalah dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dari ultras yang kalah akan diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah, seburuk apapun para tifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.

Dewasa ini, ultras kerap dipandang sebagai lanjutan atau warisan dari periode ketidakpastian dan kekerasan politik 1960-an hingga 1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak tanduk mereka disebut sebagai bukti dari sangkut paut ini. Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian lagu - yang umumnya di ubah dari lagu-lagu komunis tradisional, lambaian bendera dan panji, kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan perubahan sekutu dengan ultras lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan dalam kekacauan dan kekerasan baik antara mereka sendiri dan melawan polisi.


* A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s) *
Bentrok dengan polisi menjadi salah satu tabiat asli ultras. Bagi ultras, polisi adalah hal yang diharamkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). Sebulan sebelum Sandri terbunuh, muncul klaim dari pihak polisi yang menyatakan bahwa tak kurang dari 268 kelompok ultra dengan aspirasi politik, semuanya memiliki semangat kebencian pada polisi. Selain itu, masih menurut polisi, mayoritas kelompok tersebut berhubungan dengan gerakan ekstrim kanan yang fasis.

Tak hanya polisi, manajemen klub, staff pelatih dan bahkan pemain juga pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari ultras. Beberapa kelompok Ultras dalam menjamin dukungannya ( terutama dalam pertandingan tandang ), memaksa klub untuk memberi jatah tiket gratis, keuntungan perjalanan, dan bahkan hak atas merchandise. Ketegangan dengan pihak klub kerap berujung boikot dukungan pertandingan di kandang.

Pelatih atau manajer yang mundur (bukan karena dipecat manajemen klub) biasanya adalah produk dari tekanan ultras. Dari pihak pemain, Christian "Bobo" Vieri pernah mengalami teror fisik dari ultras Inter, termasuk dirusaknya salah satu properti bisnisnya, karena dianggap berkurang kadar loyalitasnya pada tim.

Dengan kemegahan dan kesuramannya ultras adalah fenomena khas Italia, representasi masyarakat Italia, dan identitas calcio. Seperti halnya kualitas Lega Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak bola, seperti sistem catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di dunia, maka aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi suporter-suporter negara lain, termasuk kelompok suporter di Indonesia.

* Cerita tentang bubarnya FDL *
Di sepakbola Italia, Ultras dikenal sebagai Tuhan didalam stadion, merekalah yang berkuasa. Biasa bertempat di tribun di belakang garis gawang, dimana di tribun tersebut memiliki kekhususan, yaitu polisi tidak diperkenankan berada di tribun ini atau muncul masalah. Seperti kita lihat pada partai derby, Roma - Lazio, dimana ultras dapat membatalkan pertandingan dengan isu ada anak kecil yang ditembak polisi.


Di Italian ultras ini, mereka memiliki tradisi, yaitu pertempuran antar grup ultras, artinya sah-sah aja kalo salah satu grup ultras berkelahi dengan grup ultras lainnya, dan sebagai bukti kemenangan, maka bendera dari grup ultras yang kalah akan diambil oleh sang pemenang. Kode etik dari ultras lainnya ialah, seburuk apapun para tifosi ini mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.

Hal inilah yang membuat salah satu grup ultras Milan yaitu Fossa Dei Leoni (FDL) dinyatakan bubar, karena menjelang pertandingan Milan melawan Juventus beberapa musim yang lalu, seorang tifosi garis keras Milan melambaikan bendera Viking Juve.


Dalam tradisi ultras Italia, apabila ada grup tifosi lain yang memiliki flags dari musuhnya, maka berarti bahwa grup tifosi tersebut berhasil menaklukan atau mempermalukan musuhnya tersebut, tetapi ada syaratnya, bendera tersebut bukan diperoleh dari dicuri, atau diambil tanpa sepengetahuan grup ultras lawan tersebut melainkan harus dari open fight.

Masalah timbul, karena tifosi FDL ini memperoleh bendera Viking Juve bukan dari open fight, melainkan dari menemukan di jalan. Viking Juve tidak terima dengan hal tersebut, sehingga mereka mencegat tifosi Milan di Eindhoven setelah partai liga Champions PSV - Milan, mereka mencegat dengan menggunakan senjata tajam dan berhasil merebut bendera FdL.

Timbul masalah, karena hal tersebut, FdL lapor polisi, padahal dalam kode etik italian ultras, polisi adalah hal yang di haramkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). FdL semakin mendapat tekanan dari grup tifo Milan yang lainnya, seperti Brigate Rossonere, sehingga grup tifosi tertua ini (1968) menyatakan mundur dan membentuk grup baru yaitu Guerrieri Ultras. Banyak yang bilang, bubarnya FdL juga disebabkan konflik internal, selama ini FdL lah yang berada di belakang aksi koreografi tifosi Milan, BRN ingin mengambil peran itu.

Kekerasan juga menjadi hal yang buruk dalam sejarah ultras di Italia, tetapi diluar itu, mereka juga memiliki kode etik tersendiri dalam kehidupannya.

Biasanya grup ultras akan bertempat di suatu tribun di stadion di Italia, dan dipimpin oleh seseorang yang disebut CapoTifoso. Masalah timbul apabila ada seseorang (diluar grup ultras) yang telah memiliki tiket resmi, dan sudah antri untuk masuk ke tribun yang kebetulan ditempati ultras dan mendapat tempat yang nyaman, tetapi ketika grup ultras masuk, maka orang tersebut akan diusir dari tempat duduknya, memang tidak fair. Seorang CapoTifoso juga memiliki kekuatan tersendiri di tribun tersebut, apabila ia memerintahkan untuk melempar benda-benda kelapangan, maka akan dilemparkan benda tersebut ke lapangan, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satupun tifosi yang berani melawannya.

sejarah holligan



Konon, dalam dunia sepak bola tidak dikenal latar belakang sosial. Di dalam sepak bola hanya ada satu agama, budaya, suku, dan ras. Akan tetapi, tidak selamanya sepak bola berhasil menyatukan para penggemarnya. Fanatisme berlebihan yang ditunjukkan para suporternya membuat wajah sepak bola menjadi garang dan sangat mengerikan. Dari fanatisme kemudian lahir bibit-bibit hooligan, yaitu manusia-manusia agresif dan brutal bila tim kesayangan yang digadang-gadang untuk menang menjadi pecundang.

Bagi penggila sepak bola, istilah hooligan bukanlah kosa kata asing lagi. Sebutan hooligan merujuk pada fans fanatik Inggris yang hampir di setiap pertandingan berbuat ulah, ricuh dan rusuh. Dalam banyak kasus, terlebih saat Inggris mengalami kekalahan dalam pertandingan tandang maupun di kandang sendiri, hooligan kerap berurusan dengan kepolisian karena tidak menunjukkan perilaku sportif yang berujung anarkistis.

Jika melihat tampilan para hooligan, dalam keadaan biasa, memang lucu kelihatannya. Namun, begitu mereka beraksi, tak ada lagi yang patut ditertawakan. Mereka suka mabuk-mabukan, muntah, dan kencing sembarangan. Berkelahi dengan siapa saja yang dijumpainya, terutama terhadap pendukung musuh kesebelasannya. Polisi pun tidak segan dilabrak.

Penyakit hooliganisme tersebut kini menular ke seluruh penjuru dunia, mulai dari daratan Eropa, ujung Afrika, pedalaman Cina hingga pelosok Indonesia. Bahkan, hooliganisme di negeri ini selain mendorong anarkisme di dalam stadion, juga menyulut banalisme di luar stadion.

Kisah kekerasan suporter bola, termasuk di Indonesia, melahirkan tanda tanya besar di benak kita: ada apa dengan sepak bola dan suporternya? Sejak kapankah hooligan muncul dalam dunia sepak bola? Buku The Land of Hooligans ini secara lugas mengisahkan sejarah para perusuh sepak bola di berbagai negara. Penulis juga berusaha mengurai variabel sosial yang melingkari seluk-beluk hooliganisme.

Ini hanya satu di antara puluhan buku, atau bahkan ratusan buku, yang pernah ditulis mengenai kekerasan suporter sepak bola. Tapi, buku ini punya keistimewaan sebab mencatat kronik sejarah secara detail dan mengungkap sisi-sisi terdalam yang tidak pernah ditulis sebelumnya.


Istilah hooliganisme muncul sejak akhir abad ke 19, tepatnya pada 1898 di Inggris. Tak heran jika Inggris adalah gudang penghasil hooligan yang paling padat. Sementara studi mengenai suporter sepak bola dimulai akhir 1960-an. Sejak itu pula, ada kepedulian politis, sosial, dan media yang besar terhadap hooliganisme sepak bola Inggris.

Puncak aksi hooliganisme terjadi pada 29 Mei 1985 ketika suporter Liverpool menyerang suporter Juventus dalam final Champions Cup di Stadion Heysel, Brussel, Belgia. Peristiwa ini bermula dari pendukung masing-masing klub yang saling mengejek dan melecehkan. Kemudian, para pendukung Juventus mulai melemparkan kembang api ke arah pendukung Liverpool. Huru-hara pun meledak. Akibat peristiwa itu, 39 orang tewas mengenaskan.

Kisah-kisah kekerasan hooligan terus mewarnai dunia sepak bola, termasuk dalam pertandingan derby. Di Skotlandia, yang paling sering terjadi adalah perang antar-suporter Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers. Celtic adalah klub yang dianggap mewakili agama Katolik, sedangkan Rangers mewakili Protestan.

Masing-masing hooligan siap bertaruh nyawa. Suporter Rangers sering menamakan diri Billy Boys, yakni geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow semasa Perang Dunia I dan II. Akibatnya, derby kedua klub ini selalu panas. Pendukung kedua klub pun sering terlibat bentrok sebab setiap Celtic dan Rangers bertanding, olok-olokan suporter saling menyerang identitas agama kedua pihak.

Di Italia, pertandingan derby Inter Milan versus AC Milan disebut-sebut sebagai perang kaum miskin (Milan) melawan kaum kaya (Inter). Konteks yang sama terjadi pula di Turki. "Derby Istanbul" yang memertemukan Fenerbahce versus Galatasaray adalah pertandingan yang dianggap sebagai perang kaum miskin (Fenerbahce) versus aristokrat (Galatasaray).


Secara sosiologis, popularitas sepak bola mempresentasikan permainan kelas bawah. Maklum, media massa sebelum era 1995-an masih senang mencemooh sepak bola milik kelas proletar di Eropa, milik masyarakat Dunia Ketiga di Asia dan Amerika Latin, dan milik penduduk terbelakang di Benua Afrika.

Sebagaimana ditulis Jim White dalam buku Manchester United; The Biography (edisi 2009)., sepakbola memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan sosial. Apa yang terjadi di antara suporter itu adalah fenomena sosial yang kompleks. Menurut survey pada 1960 terhadap 520 perusuh Inggris yang ditahan polisi menunjukkan, kelompok terbesar dari mereka adalah buruh kasar (68,1%).

Kaum buruh menyukainya karena sepak bola adalah orahraga kasar. Kenyataan menegaskan, sebagian besar pemain sepak bola, kendati sekarang sudah menjadi jutawan atau miliarder, berasal dari lingkungan buruh. Dengan sendirinya sepak bola menemukan akar yang kuat di komunitas buruh.

Sosiolog John William dari Leicester University yang memimpin penelitian tentang kekerasan dalam sepak bola menemukan fakta lain. Kini, muncul kesadaran baru di kalangan buruh, yaitu bangga pada kulturnya yang kasar. Alasannya, tidak berubahnya status mereka dalam jangka waktu yang panjang membuat kelompok ini patah semangat untuk mengubah keadaanya. Kompetisi dalam sepak bola lalu dianggap relevan sebagai sikap pelarian.

Frustasi dalam hidup bermasyarakat kerap dijadikan alasan melancarkan agresi dan tidak banyak sarana untuk menyalurkannya. Dalam hal ini, pertandingan sepak bola yang dipadati ribuan penonton 'dibajak' sebagai sarana pelampiasan. Karena itu, sesungguhnya ada mata rantai antara kekerasan dalam sepak bola dan agresi sosial tersebut.

Salah satu pihak yang turut bertanggungjawab mematahkan mata rantai itu adalah pemain. Pemain sejatinya menampilkan permainan yang menarik tanpa kekerasan. Begitu memeragakan kekerasan, dia wajib dihukum seberat-beratnya sehingga dapat meredam emosi suporter dan pertandingan bisa berjalan lebih sportif.

Itulah sepak bola yang memiliki kisahnya sendiri. Apa yang ingin ditegaskan Hari Wahyudi dalam buku ini, senyatanya pertandingan sepak bola akan berlangsung memesona jika pemain masing-masing kesebelasan dapat menampilkan skil permainan yang berkelas, panitia pertandingan bisa menjamin keamanan penonton, suporter boleh mati-matian mendukung tim kesayangannnya tanpa harus melecehkan tim lawan, juga segenap pengurus tim maupun yang ada di pusat mampu mengelola pertandingan secara dewasa dan profesional

Sejarah Irriducibili


Ultras adalah salah satu fenomena yang menarik untuk dibahas dengan kaitannya dengan klub yang kita puja SS LAZIO 1900. Sebagai gambaran singkat Ultras terbesar Lazio yaitu Irriducibili (unshakeable) adalah salah satu Ultras yang paling fanatik dan berbahaya di Italia.

Ultras pertama dalam sejarah Italia adalah sekelompok pendukung klub sepakbola berusia sekitar 15 sampai 25 tahun yang jelas dapat dibedakan dengan model klasik pendukung sepakbola dewasa, yang lahir sekitar akhir tahun 1960an dan awal 1970an. Mereka biasanya berkumpul di bagian paling murah di stadion, dan biasanya mereka mendapat keringanan tiket oleh klub, dan dengan segera mereka menjadi sebuah karakter unik dari keseluruhan sepak bola Italia. Mereka sangat dapat dibedakan dengan penonton biasa yaitu mereka selalu berkumpul membentuk kelompok-kelompok dengan banner berukuran raksasa bertuliskan nama kelompok (berdasarkan tempat terbentuknya atau kesamaan orientasi politik) dan memakai pakaian-pakaian militer (hardcore ultra) dengan aksesoris wajibnya yaitu parka, sepatu boot Dr. Marten, pakaian perang dan jaket yang dikalungi syal dengan warna klub yang mereka cintai. (sangat kontras dengan penampilan supporter di Indonesia).

Ultras pertama dan tertua di Italia adalah Milan's Fossa dei Leoni ( Sarang Singa ) yang didirikan pada tahun 1968, yang kemudian menetap di bagian paling murah di stadion San Siro di sektor 17. Kemudian pada tahun 1969 muncullah Ultras Sampdoria (kelompok pertama yang menyebut diri mereka ultras), diikuti oleh "The Boys" dari Inter Milan. Dan pada tahun 1970an banyak bermunculan ratusan kelompok-kelompok kecil di stadion yang kemudian membentuk kelompok besar seperti Yellow-blue Brigade Verona, Viola Club Viesseux Fiorentina ( 1971), Naples Ultras (1972), Red and Black Brigade Milan, Griffin's Den Genoa dan Granata Ultras Torino (1973), For Ever Ultras Bologna (1975), Juventus Fighters (1975), Black and Blue Brigade Atalanta (1976), Eagle's Supporters Lazio dan Commando Ultras Curva Sud (CUCS) Roma (1977).



Kembali ke Lazio Ultras. Sejarah pendukung Lazio dimulai di Curva Sud di akhir tahun 1960an, mengikuti pergerakan tahun 1968. Ketika para kelompok-kelompok kecil pendukung muda Lazio menemukan tempat mereka di stadion Olimpico. Mereka adalah Ultras pertama, dan nama-nama kelompok mereka antara lain, Tupamaros, Aquile, Ultras, Vigilantes, NAB, CAST, dan Marines.

Tetapi mereka akhirnya terbagi dan membentuk kelompok yang lebih besar. Jadi, pada tahun 1971 muncullah sejarah lahirnya kelompok supporter terorganisasi pertama Lazio, yakni COMMANDOS MONTEVERDE LAZIO, yang namanya berasal dari salah satu bagian dari kota Roma, yang lebih sering dikenal dengan nama C.M.L '74, karena pada tahun itu Lazio scudetto untuk pertama kalinya.

Pada tahun 1976, kelompok-kelompok dari Curva Sud memutuskan untuk bersatu dalam nama G.A.B.A, yang kemudian menjadi EAGLES SUPPORTERS pada tahun berikutnya, yang terkenal dengan banner bahasa inggris 56 meternya yang akhirnya pindah ke Curva Nord. Pada tahun 1978 kelompok lainnya yaitu VIKING muncul di Curva Sud (mereka adalah kelompok paling keras dan sangat berorientasi politik pada waktu itu) dengan helm viking dan kapak bipens sebagai simbolnya.

Tanggal 28 Oktober 1979 akan dikenang sebagai hari paling kelam dalam sejarah pendukung Lazio ketika dalam pertandingan derby antara Roma dan S.S. Lazio, salah satu dari 15 ribu pendukung Lazio di Curva Nord, yakni Vicenzo Paparelli (33 tahun) tewas terkena terjangan roket yang diluncurkan oleh pemuda berusia 17 tahun dari Curva Sud (Pendukung RIOMA MERDA).

Pada tahun yang sama EAGLES SUPPOETERS memutuskan untuk berpindah tempat ke CURVA NORD dan diikuti semua kelompok lainnya kecuali VIKINGS (akhirnya pindah 2 tahun kemudian).

Dan di tahun 1987 mulai pertandingan melawan Padova, EAGLES SUPPORTERS bukan lagi satu-satunya kelompok yang mendukung S.S. Lazio di Curva Nord karena untuk pertama kalinya muncul sebuah kelompok baru bernama IRRIDUCIBILI yang muncul dengan banner 10 meter bertuliskan nama kelompok mereka. Kehadiran IRRIDUCIBILI mengubah total cara mendukung klub dengan cara menghilangkan alat musik seperti drum-drum, terompet dan memperkenalkan sorakan-sorakan ala supporter Inggris. (Jadi ketika kini anda menonton pertandingan Italia yang pendukungnya tidak lagi mempergunakan alat musik itu semua berkat usaha kelompok Lazio kita, IRRIDUCIBILI).Akhirnya pada tahun 1992 EAGLES SUPPORTERS, yang tetap mengikuti gaya lama, hilang dan bubar di Curva Nord.

Musim 2002-2003 adalah musim yang benar-benar penting bagi IRRIDUCIBILI karena mereka memasuki usia 15 tahun, dan di tahun yang sama S.S. Lazio memutuskan untuk memberikan Curva Nord jersey nomor 12, yang akan di pensiunkan selamanya dan akan selalu menyimbolkan pentingnya dan kecintaan para fans akan LAZIO.

Sekarang Curva Nord di jaga oleh IRRIDUCIBILI, C.M.L '74, VIKINGS, BANDA NOANTRI, kelompok ANNI '70, VETERANI di Tribun Tevere dan LEGIONE di Curva Sud.

Dan berikut ini adalah salah satu orientasi kehidupan pendukung Lazio dengan Irriducibilinya yang kata banyak pakar sangat rasis dan konservatif.

Salah satu contoh yang paling kentara aroma persaingan politiknya adalah Lazio - Atalanta. Dimana Lazio (Irriducibili = unshakeable) adalah right-wing (ultrakonservatif) sedangkan Atalanta adalah left-wing sejati (liberal) dan bahkan ultras Livorno (Brigate Autonome Livornesi) adalah pendukung sejati komunisme dimana banyak banner2 mereka yang berlambang parang dan sabit, simbol anarki, dan che guevara tertampang dibeberapa tribun khususnya curva nord dan curva sud (tentu dlm bahasa italia).

Memang banyak orang mengkritik Laziali karena mereka sangat konservatif dalam beberapa hal, misalnya sampai saat ini masih rasis (walaupun pernah ada Aaron Winter, Liverani, Manfredini, Dabo,Makinwa, Mudingayi, dll), dan sangat membenci kaum Yahudi (laziali italia banyak yg tergabung dalam klmpk Skinhead r Facist (Di Canio, dia mengatakan "I'm a fascist, not a racist... The salute is aimed at my people. With the straight arm I don't want to incite violence and certainly not racial hatred." (Di Canio adalah pemain lazio yang pada masa mudanya pernah bergabung dengan ultras lazio Irriducibili dan dia mengikrarkan Hidupnya untuk lazio). Tapi itu kan tidak mewakili keseluruhan orientasi politik laziali di seluruh dunia (kyknya laziali di Indonesia sedikit melupakan orientasi politiknya) dan jangan sampai kita disebut sebagai armchair fans.

Dan juga bila orang mengatakan bahwa musuh utama lazio adalah RIOMA MERDA adalah benar (undeniable) dan telah menjadi hukum alam bagi seluruh laziali, tapi kebencian itu semata2 hanya karena masalah domisili, dimana di kota roma ada 2 klub, dan kita sedang berperang dgn mereka untuk menjadi siapa yang menjadi king of rome (itu wajar) (sejarah membuktikan lazio adalah klub sepak bola pertama dikota roma bahkan di italia selatan) tapi dari segi politis kita masih ada beberapa kesamaan dengan mereka walupun tidak besar. (para ghettos n nigger banyak yang menjadi pendukung roma, dan itu menjadi aib bagi lazio) (coba sebutkan berapa banyak nigger yg pernah maen di lazio dibandingkan roma). Rome is ghettos home.

Sebenarnya klo membicarakan ultras, kita harus membicarakan bagaimana mereka tersebut terbentuk, biasanya mereka terbentuk karena kesamaan domisili, politik, memori masa lalu, atau mempunyai favorit player yang sama. Tapi pada akhirnya ultras memang harus dihadapkan dengan politik, hal itulah yang membuat ultras semakin menarik untuk dibicarakan.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More